Bila ada yang bertanya padamu kawan:
"Mana yang lebih berat: jadi PRESIDEN atau jadi IBU RUMAH TANGGA?"
Mungkin dari kalian ada yang menjawab:
"Pastinya lebih berat jadi PRESIDEN donk !!! Secara tugas-tugasnya mencakup seluruh wilayah negara serta semua warga negaranya."
Tak bisa dipungkiri kalo tugas-tugas seorang PRESIDEN itu bejibun banget...
Mulai dari ngurusin pertumbuhan dan penstabilan perekonomian..
Stabilitas keamanan negara ....
Kemajuan dan kualitas pendidikan ...
Hingga pencapaian kesejahteraan warga negaranya....
Sampe-sampe "berjibaku" mereduksi tingkat korupsi di dalam negaranya pula...
Dan menghadapi ribuan problematika TKI/TKW di mancanegara
Belum lagi "bertahan" dari serbuan "perang kepentingan politik" dari pihak-pihak yang mendukung maupun yang oposisi.
Tapi dimataku, tugas itu memang "tidak mudah"
namun "tidak seberat" tugas seorang IBU RUMAH TANGGA.
Meskipun berbagai hal jadi pemikiran seorang PRESIDEN dari waktu ke waktu,
namun dia tidak kerja sendirian...
Ada beratus-ratus bahkan hingga mencapai ribuan "asisten"nya yang akan membantunya menghadapi segala problematika kenegaraan..
Mulai dari Menteri... Duta Besar... Atase Luar Negeri... Gubernur...
hingga Lurah bahkan sampe ke Sekdes...
Semua "bergerak" dalam satu struktur.. Atas perintah Bapak Presiden..
Semua berusaha semaksimalnya untuk membantu menghadapi segala problema itu
Dan kala seorang Presiden lelah...
Dia bisa "mengistirahatkan" sejenak fisiknya dengan segala fasilitas kenegaraan
yang akan membantunya segera pulih kembali..
Dia bisa mendapatkan pelayanan spa semudah membalik telapak tangan..
Beragam hiburan hingga perlancongan bisa dilakukannya di sela-sela rutinitas kenegaraan..
Segala makanan yang menyehatkan maupun yang menggoda selera akan segera terhidang dihadapannya
Para tenaga kesehatan mulai dari profesor spesialis hingga perawat siap sedia mengobati sakitnya..
Ach.. Yang "berat-berat" itu tidak dia tanggung sendirian.
Tapi cobalah sejenak kita palingkan wajah pada seorang IBU RUMAH TANGGA...
Perhatikan sejenak ritme kerjanya dari waktu ke waktu..
DAPUR - SUMUR - KASUR
Tak ada asisten yang siap sedia membantu dia menyelesaikan segala problema rumah tangga
Kala mentari belum lagi "muncul" dari peraduannya...
Bahkan terkadang kala hari baru beberapa jam berganti,
IBU RUMAH TANGGA telah bergegas bangun, menunaikan ibadahnya dan kemudian menuju dapur
"Berperang" menyiapkan hidangan segera demi buah hati maupun pasangan jiwa tercinta
Agar saat mereka bangun..
Mereka bisa mengisi perutnya "yang kosong" dengan hidangan yang hangat.
Saat fajar mulai menyingsing..
Bergegas dia membangunkan seisi rumah agar bisa memulai aktivitas tepat waktu..
Dan sibuklah dia mengurus buah hati, mulai dari yang kecil hingga yang sudah dewasa
Memastikan mereka semua "siap sedia" tepat waktu, rapi dan wangi pasca mandi, hingga perut mereka kenyang dengan hidangan pagi.
Saat seisi rumah telah beranjak ke aktivitas masing-masing..
Beranjaklah dia menuju ke sumur.
Membersihkan segala perangkat makan dan peralatan dapur yang kotor..
Bergegas mengurus pakaian-pakaian kotor agar tidak menumpuk dan menimbulkan bau tak sedap di sekeliling rumah..
Bahkan terkadang "teknologi mesin cuci" masih yang manual..
Alias mencuci dengan tangan.
Beres dengan cucian berarti tiba waktunya kembali ke dapur..
Menyiapkan hidangan-hidangan untuk makan siang maupun makan malam.
Selesai dengan makanan, bukan berarti bisa bersantai..
Rumah yang selalu "porak-poranda" perlu dirapikan dan dibersihkan..
Dia pastikan debu-debu "menyingkir jauh dari dalam rumah.
Tugas baru kelar kala siang telah menjelang..
Anak-anak kembali dari aktivitasnya..
Mendengungkan "keroncong pulau tengah" alias perut telah lapar.
Bergegaslah dia menyiapkan meja dan menata hidangan
Agar para buah hati bisa tenang menikmati sajian siang..
Kala buah hati telah kenyang..
Dia sibuk membersihkan segala yang terserak di meja
Lalu "berperang" antara nina bobok siang buah hati yang kecil
hingga menemani belajar yang telah bersekolah..
Dari meladeni segala celoteh si mungil yang tak habis-habisnya
Hingga membujuk yang telah bersekolah agar mau pergi kursus mata pelajaran ataupun pergi mengaji
Kala sore telah menjelang..
Sibuklah dia memastikan semua buah hati telah "bersih dan wangi"
Adakalanya menyiapkan penganan sore untuk pasangan jiwa yang baru pulang kerja
Menyambutnya dengan selaksa senyum mesra meskipun badan "telah remuk redam" bekerja seharian
Menghidangkan secangkir teh/kopi yang lezat agar pasangan jiwa memudar lelahnya..
Tak pernah sedih meskipun terkadang menghadapi raut wajah pasangan jiwa yang "mengumbar emosi" sisa-sisa dari tempat kerjanya
Kala malam telah menyelimuti dunia..
Sibuklah dia dengan sajian makan malam bagi seisi rumah..
Merapikan sisa-sisa yang terserak di atas meja makan
Memastikan setiap anak mengulang pelajaran dari sekolah..
Menyelesaikan setiap pe er yang ada
Mengingatkan dan mengawasi anak-anak agar tidak tidur larut..
Serta meninabobokan si mungil yang merengek-rengek dalam kantuk..
Kala malam bergerak semakin larut..
Saat para buah hati telah terlelap diperaduannya
Mulailah tugas mulianya sebagai seorang istri..
Agar senyum hangat merekah selalu dari pasangan jiwanya..
Agar pancaran bahagia menyeruar dari sudut-sudut matanya..
Kala disadarinya badan telah "remuk redam" bekerja seharian..
Waktu telah mendekati titik-titik pergantian hari..
Barulah dia bisa tidur lelap..
Mengistirahatkan tubuh lelahnya agar siap sedia memulai hari beberapa jam kemudian
Tugas IBU RUMAH TANGGA itu terus menerus dilakoninya..
Semenjak akad nikah diucapkan atas dirinya
Hingga para buah hati "meninggalkan" dirinya demi kehidupan rumah tangga yang baru
Hingga akhir hayat menyapa dirinya maupun pasangan jiwanya
Kadang kita lupa mengamati:
betapa seorang IBU RUMAH TANGGA sering terlupa untuk mengisi "perutnya" 3 x sehari..
Bahkan sering didapati dia tak tau apakah sedang makan pagi, makan siang ato makan malam..
Karena semua dikerjakan disela-sela ritme dapur-sumur-kasur.
Terkadang dilakukan sambil "berlari" menggapai buah hati yang merengek-rengek tiada henti
Bahkan kadang kita tidak menyadari kalau dirinya tak terlelap sedetikpun
manakala buah hatinya ataupun pasangan jiwanya terkapar dalam kesakitan
Karena baginya sakit yang mereka rasakan adalah sakit yang menikam benaknya
Lebih baik dia yang menanggung sakit daripada mereka yang dikasihinya tergolek lemah akibat sakit
Tapi pernahkah kita mendengar seorang IBU RUMAH TANGGA;
meminta gaji atas kerjanya sehari-hari?
meminta cuti dari tugas-tugasnya itu barang sehari?
Meminta uang untuk ke salon ato ke spa kecantikan?
meminta tiket dan ongkos kendaraan untuk berlibur ke tempat wisata setiap tahun?
meminta asisten untuk mengerjakan tugas-tugasnya?
meminta layanan spesialis untuk sekedar mengobati batuknya?
Kadang yang terjadi malah dia "enggan" dikatakan sakit..
Dia "sehatkan" badannya sampai tubuh letihnya tak mampu lagi bertahan..
Seringkali dia palingkan wajah untuk menutupi "air mata yang berderai"
Karena "sayatan sembilu" dari celoteh buah hatinya
hingga "kobaran api" dari lidah pasangan jiwanya
Dia memilih "mengubur" semua di sudut terdalam hatinya
Dia semaikan sejuta senyum di wajahnya meski "darah membanjir" dari hati yang terluka
IBU RUMAH TANGGA melakukan semua tanpa imbalan..
Selain kabar kesuksesan pasangan jiwanya di tempat kerja
Selain keberhasilan buah hatinya mengecap pendidikan setinggi-tingginya
Selain untaian senyum mesra dan pelukan hangat dari mereka semua
Karena baginya semua itu adalah AMANAH MULIA untuk dirinya
Karena semua itu adalah LADANG JIHAD baginya..
************************
Groningen, 22 Desember 2009
Kupersembahkan tulisan ini buat ibuku tercinta..
Yang hanya sekejap "mereguk indahnya pendidikan"
Yang 8 kali "berjibaku dalam maut" demi kelahiran 9 buah hati tercinta
Yang telah "remuk redam" dihantam derita
Demi menghantarkan ananda-ananda tercinta menggapai mimpi
Meraih pendidikan setinggi-tingginya
yang laksana "punguk merindukan bulan" dimasanya dahulu
"SELAMAT HARI IBU"
Buat puteriku, Azizah Salsabila:
Maafkan Mama yang "harus" berpisah denganmu setahun ini, Sayang.
Saat Mama kembali, kita kan "memanfaatkan setiap detik" untuk mengisi kehilangan ini.
MAMA mencintaimu selalu.
Rabu, 21 April 2010
A Father, an Ordinary Man Whose Tears are Hidden
kawan...
Pernahkah kalian memperhatikan secara cermat ayahanda tercinta?
Apa yang paling kalian perhatikan darinya?
Mungkin kebanyakan kita paling ingat dengan amarahnya
Tak kan lupa dengan sanksi-sanksinya atas ketidakdisiplinan kita
Namun terlalu muskil bagi kita melihatnya berurai air mata
Karena kita anggap dia tak "layak" dan tak "pantas" untuk menitikkannya
Karena kita anggap dia sangat kuat, tegar, dan jauh dari cengeng
Namun kawan...
Cobalah sedikit lebih seksama mengingat ayahanda tercinta..
Sesungguhnya dia "hampir selalu" bersimbah air mata di sepanjang perannya sebagai ayah
Tangis pertamanya sebagai ayah:
Saat ibunda tengah "berjibaku dengan maut" demi melahirkan kita,
ayah kita terlihat "perkasa" di samping ibu, menguatkannya agar bisa terus bertahan
Atau gelisah mondar-mandir di depan ruang persalinan
Meski sebenarnya "lutut"nya sudah goyah dilanda rusuh hati dalam kecemasan tak bertepi
Meski sesungguhnya "air mata"nya mengalir sudut-sudut hatinya karena tak tega
melihat istrinya dalam "perjuangan maut"
Namun dia terlihat tegar bagai batu karang yang tak goyah dilamun selaksa ombak
Saat tangis pertama buah hati mengoyak "tembok" kecemasannya
Sesungguhnya air matanya mengalir kembali
Menyambut kelahiran kita dengan gema azan dan/atau iqomah
Merekahkan senyum semanis madu dalam ungkapan terima kasih kepada ibu kita
Tangisnya bukan karena ayah seorang yang cengeng, namun itu ungkapan bahagia yang tak terkira
Tangis keduanya sebagai ayah:
Pernahkah kita perhatikan kala malam telah begitu larut
Ayah kita "tersungkur" dalam sujud yang dalam di keheningan malam
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia menangis ke haribaan Ilahi
Memohon "kemudahan ekonomi" dalam do'a - do'a yang begitu panjang
Karena dirinya tak selalu mampu "memenuhi" nafkah keluarga
Hatinya "merana" karena tak bisa membayar uang sekolah kita tepat waktu,
tak bisa membelikan kita baju sekolah baru maupun baju baru di hari lebaran
Karena dia hanya mampu mengantar kita ke sekolah dengan berjalan kaki berpuluh-puluh meter
bahkan mungkin hingga hitungan kilometer.
Tangis ketiganya sebagai ayah:
Taukah kalian bagaimana perasaannya manakala dia tak "sukses" secara ekonomi?
Bagaimana bisikan hatinya manakala keluarganya terperangkap dalam "ekonomi lemah"?
Bagaimana jiwanya manakala beragam pandangan mencemooh terlempar ke wajah-wajah yang paling dikasihinya?
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia "menangis"?
Mengadu kepada Ilahi Robbi agar diberikan "kemudahan" dan "kekuatan"
Untuk tetap tegar menyekolahkan anak-anaknya
Meski "darah" memeluh di setiap ikhtiarnya mencari nafkah keluarga
Meski harus tertatih-tatih bahkan "merayap-rayap" dalam "onak duri" rezeki
Meski tak membedakan siang dan malam dalam "mengorek" sesuap nasi bagi keluarga
Meski caci-maki dari orang yang lebih berpunya "memecah" gendang telinga
Meski harus "melupakan" lapar demi "menyuapi" keluarga dengan nafkah yang sangat jauh dari cukup
Tangisan keempatnya sebagai ayah:
Taukah kalian betapa rusuh dan gundah gulana hatinya
Menyaksikan anak tercinta terbaring tak berdaya di rumah sakit
Meski gundah, dia selalu terlihat kuat dan berwibawa membujuk kita agar mau menuruti nasihat dokter.
Taukah kalian bahwa air mata "membanjiri" hatinya
Terbalur kecemasan dan keresahan akan beratnya sakit yang diderita anak tercinta
akan kemungkinan "tiada biaya" untuk berobat
Namun kita tak pernah lihat air mata itu
Tangisan kelimanya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat saat kebandelan remaja kita telah melampaui batas?
Dari satu kebandelan berlanjut ke berbagai kebandelan lainnya
Membuat satu masalah dan merumitkan berbagai masalah
Kita pasti takkan lupa saat amarahnya membahana
Saat tak tau lagi bagaimana bertoleransi dengan kesalahan-kesalahan kita
Taukah kalian kala amarah itu mereda, hatinya beruraikan tangis
Tangis karena merasa "gagal" sebagai ayah
Tangis karena merasa " tak berhasil" mendidik kita sebagaimana mestinya
Namun juga tangis karena rasa bersalah "meluapkan" amarah kepada kita
Tangisan keenamnya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat di saat kita diwisuda sebagai sarjana?
Senyum bahagia dan ucapan syukur yang terurai dari bibir ayah dan bunda tercinta
Tapi taukah kalian saat malam menapak dinihari
Ayah kita "tenggelam" dalam sujud yang panjang,
berurai air mata dalam do'a syukur karena bisa menghantarkan kita ke jenjang pendidikan tinggi
yang mungkin tak pernah dia kecap seumur hidupnya
Tangis ketujuhnya sebagai ayah:
Bagaimana raut wajahnya saat kita kabarkan bahwa kita diterima kerja sebagai pegawai negeri ataupun sebagai karyawan perusahaan atau saat usaha bisnis kita berhasil?
Bagaimana raut wajahnya saat kita berikan beberapa lembar uang gaji pertama kita?
Selaksa senyum bahagia terukir dengan sempurnanya di wajah tuanya yang penuh keriput
Namun sesungguhnya hatinya "berisi" air mata bahagia
Menyaksikan keberhasilan kita di dunia kerja
Tangisan terakhirnya sebagai ayah:
Apa yang dia rasa saat puteranya mengatakan akan meminang seorang gadis?
Apa yang mengusik hatinya saat seorang pemuda datang hendak meminang puterinya?
Hatinya bahagia sekaligus gundah gulana
Bahagia mendengar anak-anak tercinta akan menempuh hidup yang baru
Bahagia mengetahui anak-anak tercinta telah dewasa dalam pilihannya dan siap melangkah ke tanggung jawab yang baru.
Namun hatinya gundah karena tau akan "ditinggalkan" oleh buah hati tercinta
Saat akad pernikahan tergulir dari bibir putera tercinta
Kala akad pernikahan terurai dari bibirnya atas nama puteri tercinta
Sesungguhnya hatinya "banjir air mata"
Tangis yang menggambarkan kebahagiaannya karena putera tercinta telah mengemban tanggung jawab yang sama seperti peran dia
Tangis yang mengukir kebahagiaannya karena puteri tercinta telah berada di "tangan yang tepat"
Namun juga tangis yang menyiratkan lara hatinya karena "belum siap" terpisah dari ananda tercinta
yang telah mengisi hari-harinya sebagai ayah selama bertahun-tahun
Duhai Ayah...
Meskipun kau secara fisik tidak melahirkan kami
Namun secara psikologis kau "lahir"kan kami hingga menjadi anak-anak yang berguna
Bagi diri sendiri, bagi keluarga, dan juga bagi bangsa-negara
Duhai Ayah...
Meski dunia hanya mengenal HARI IBU
Izinkan daku mengucapkan kepadamu
"SELAMAT HARI AYAH"
Beribu terima kasihku untukmu
Tanpa kasihmu yang tulus..
Tanpa cintamu yang mendalam..
Tanpa "tangis-tangis"mu
Mungkin takkan kujejaki tanah Groningen ini
Duhai Ayah..
Selaksa cinta kuhaturkan kepadamu atas semua episode yang telah kita lewati.
Groningen, 22 Desember 2009
Persembahan untuk Bapak tercinta di "Hari Ibu"
(terinspirasi dari sebuah posting di facebook yang tidak pernah ketemu lagi :)
Pernahkah kalian memperhatikan secara cermat ayahanda tercinta?
Apa yang paling kalian perhatikan darinya?
Mungkin kebanyakan kita paling ingat dengan amarahnya
Tak kan lupa dengan sanksi-sanksinya atas ketidakdisiplinan kita
Namun terlalu muskil bagi kita melihatnya berurai air mata
Karena kita anggap dia tak "layak" dan tak "pantas" untuk menitikkannya
Karena kita anggap dia sangat kuat, tegar, dan jauh dari cengeng
Namun kawan...
Cobalah sedikit lebih seksama mengingat ayahanda tercinta..
Sesungguhnya dia "hampir selalu" bersimbah air mata di sepanjang perannya sebagai ayah
Tangis pertamanya sebagai ayah:
Saat ibunda tengah "berjibaku dengan maut" demi melahirkan kita,
ayah kita terlihat "perkasa" di samping ibu, menguatkannya agar bisa terus bertahan
Atau gelisah mondar-mandir di depan ruang persalinan
Meski sebenarnya "lutut"nya sudah goyah dilanda rusuh hati dalam kecemasan tak bertepi
Meski sesungguhnya "air mata"nya mengalir sudut-sudut hatinya karena tak tega
melihat istrinya dalam "perjuangan maut"
Namun dia terlihat tegar bagai batu karang yang tak goyah dilamun selaksa ombak
Saat tangis pertama buah hati mengoyak "tembok" kecemasannya
Sesungguhnya air matanya mengalir kembali
Menyambut kelahiran kita dengan gema azan dan/atau iqomah
Merekahkan senyum semanis madu dalam ungkapan terima kasih kepada ibu kita
Tangisnya bukan karena ayah seorang yang cengeng, namun itu ungkapan bahagia yang tak terkira
Tangis keduanya sebagai ayah:
Pernahkah kita perhatikan kala malam telah begitu larut
Ayah kita "tersungkur" dalam sujud yang dalam di keheningan malam
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia menangis ke haribaan Ilahi
Memohon "kemudahan ekonomi" dalam do'a - do'a yang begitu panjang
Karena dirinya tak selalu mampu "memenuhi" nafkah keluarga
Hatinya "merana" karena tak bisa membayar uang sekolah kita tepat waktu,
tak bisa membelikan kita baju sekolah baru maupun baju baru di hari lebaran
Karena dia hanya mampu mengantar kita ke sekolah dengan berjalan kaki berpuluh-puluh meter
bahkan mungkin hingga hitungan kilometer.
Tangis ketiganya sebagai ayah:
Taukah kalian bagaimana perasaannya manakala dia tak "sukses" secara ekonomi?
Bagaimana bisikan hatinya manakala keluarganya terperangkap dalam "ekonomi lemah"?
Bagaimana jiwanya manakala beragam pandangan mencemooh terlempar ke wajah-wajah yang paling dikasihinya?
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia "menangis"?
Mengadu kepada Ilahi Robbi agar diberikan "kemudahan" dan "kekuatan"
Untuk tetap tegar menyekolahkan anak-anaknya
Meski "darah" memeluh di setiap ikhtiarnya mencari nafkah keluarga
Meski harus tertatih-tatih bahkan "merayap-rayap" dalam "onak duri" rezeki
Meski tak membedakan siang dan malam dalam "mengorek" sesuap nasi bagi keluarga
Meski caci-maki dari orang yang lebih berpunya "memecah" gendang telinga
Meski harus "melupakan" lapar demi "menyuapi" keluarga dengan nafkah yang sangat jauh dari cukup
Tangisan keempatnya sebagai ayah:
Taukah kalian betapa rusuh dan gundah gulana hatinya
Menyaksikan anak tercinta terbaring tak berdaya di rumah sakit
Meski gundah, dia selalu terlihat kuat dan berwibawa membujuk kita agar mau menuruti nasihat dokter.
Taukah kalian bahwa air mata "membanjiri" hatinya
Terbalur kecemasan dan keresahan akan beratnya sakit yang diderita anak tercinta
akan kemungkinan "tiada biaya" untuk berobat
Namun kita tak pernah lihat air mata itu
Tangisan kelimanya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat saat kebandelan remaja kita telah melampaui batas?
Dari satu kebandelan berlanjut ke berbagai kebandelan lainnya
Membuat satu masalah dan merumitkan berbagai masalah
Kita pasti takkan lupa saat amarahnya membahana
Saat tak tau lagi bagaimana bertoleransi dengan kesalahan-kesalahan kita
Taukah kalian kala amarah itu mereda, hatinya beruraikan tangis
Tangis karena merasa "gagal" sebagai ayah
Tangis karena merasa " tak berhasil" mendidik kita sebagaimana mestinya
Namun juga tangis karena rasa bersalah "meluapkan" amarah kepada kita
Tangisan keenamnya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat di saat kita diwisuda sebagai sarjana?
Senyum bahagia dan ucapan syukur yang terurai dari bibir ayah dan bunda tercinta
Tapi taukah kalian saat malam menapak dinihari
Ayah kita "tenggelam" dalam sujud yang panjang,
berurai air mata dalam do'a syukur karena bisa menghantarkan kita ke jenjang pendidikan tinggi
yang mungkin tak pernah dia kecap seumur hidupnya
Tangis ketujuhnya sebagai ayah:
Bagaimana raut wajahnya saat kita kabarkan bahwa kita diterima kerja sebagai pegawai negeri ataupun sebagai karyawan perusahaan atau saat usaha bisnis kita berhasil?
Bagaimana raut wajahnya saat kita berikan beberapa lembar uang gaji pertama kita?
Selaksa senyum bahagia terukir dengan sempurnanya di wajah tuanya yang penuh keriput
Namun sesungguhnya hatinya "berisi" air mata bahagia
Menyaksikan keberhasilan kita di dunia kerja
Tangisan terakhirnya sebagai ayah:
Apa yang dia rasa saat puteranya mengatakan akan meminang seorang gadis?
Apa yang mengusik hatinya saat seorang pemuda datang hendak meminang puterinya?
Hatinya bahagia sekaligus gundah gulana
Bahagia mendengar anak-anak tercinta akan menempuh hidup yang baru
Bahagia mengetahui anak-anak tercinta telah dewasa dalam pilihannya dan siap melangkah ke tanggung jawab yang baru.
Namun hatinya gundah karena tau akan "ditinggalkan" oleh buah hati tercinta
Saat akad pernikahan tergulir dari bibir putera tercinta
Kala akad pernikahan terurai dari bibirnya atas nama puteri tercinta
Sesungguhnya hatinya "banjir air mata"
Tangis yang menggambarkan kebahagiaannya karena putera tercinta telah mengemban tanggung jawab yang sama seperti peran dia
Tangis yang mengukir kebahagiaannya karena puteri tercinta telah berada di "tangan yang tepat"
Namun juga tangis yang menyiratkan lara hatinya karena "belum siap" terpisah dari ananda tercinta
yang telah mengisi hari-harinya sebagai ayah selama bertahun-tahun
Duhai Ayah...
Meskipun kau secara fisik tidak melahirkan kami
Namun secara psikologis kau "lahir"kan kami hingga menjadi anak-anak yang berguna
Bagi diri sendiri, bagi keluarga, dan juga bagi bangsa-negara
Duhai Ayah...
Meski dunia hanya mengenal HARI IBU
Izinkan daku mengucapkan kepadamu
"SELAMAT HARI AYAH"
Beribu terima kasihku untukmu
Tanpa kasihmu yang tulus..
Tanpa cintamu yang mendalam..
Tanpa "tangis-tangis"mu
Mungkin takkan kujejaki tanah Groningen ini
Duhai Ayah..
Selaksa cinta kuhaturkan kepadamu atas semua episode yang telah kita lewati.
Groningen, 22 Desember 2009
Persembahan untuk Bapak tercinta di "Hari Ibu"
(terinspirasi dari sebuah posting di facebook yang tidak pernah ketemu lagi :)
Langganan:
Komentar (Atom)
