Rabu, 21 April 2010

A Father, an Ordinary Man Whose Tears are Hidden

kawan...
Pernahkah kalian memperhatikan secara cermat ayahanda tercinta?
Apa yang paling kalian perhatikan darinya?
Mungkin kebanyakan kita paling ingat dengan amarahnya
Tak kan lupa dengan sanksi-sanksinya atas ketidakdisiplinan kita
Namun terlalu muskil bagi kita melihatnya berurai air mata
Karena kita anggap dia tak "layak" dan tak "pantas" untuk menitikkannya
Karena kita anggap dia sangat kuat, tegar, dan jauh dari cengeng

Namun kawan...
Cobalah sedikit lebih seksama mengingat ayahanda tercinta..
Sesungguhnya dia "hampir selalu" bersimbah air mata di sepanjang perannya sebagai ayah

Tangis pertamanya sebagai ayah:
Saat ibunda tengah "berjibaku dengan maut" demi melahirkan kita,
ayah kita terlihat "perkasa" di samping ibu, menguatkannya agar bisa terus bertahan
Atau gelisah mondar-mandir di depan ruang persalinan
Meski sebenarnya "lutut"nya sudah goyah dilanda rusuh hati dalam kecemasan tak bertepi
Meski sesungguhnya "air mata"nya mengalir sudut-sudut hatinya karena tak tega
melihat istrinya dalam "perjuangan maut"
Namun dia terlihat tegar bagai batu karang yang tak goyah dilamun selaksa ombak
Saat tangis pertama buah hati mengoyak "tembok" kecemasannya
Sesungguhnya air matanya mengalir kembali
Menyambut kelahiran kita dengan gema azan dan/atau iqomah
Merekahkan senyum semanis madu dalam ungkapan terima kasih kepada ibu kita
Tangisnya bukan karena ayah seorang yang cengeng, namun itu ungkapan bahagia yang tak terkira

Tangis keduanya sebagai ayah:
Pernahkah kita perhatikan kala malam telah begitu larut
Ayah kita "tersungkur" dalam sujud yang dalam di keheningan malam
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia menangis ke haribaan Ilahi
Memohon "kemudahan ekonomi" dalam do'a - do'a yang begitu panjang
Karena dirinya tak selalu mampu "memenuhi" nafkah keluarga
Hatinya "merana" karena tak bisa membayar uang sekolah kita tepat waktu,
tak bisa membelikan kita baju sekolah baru maupun baju baru di hari lebaran
Karena dia hanya mampu mengantar kita ke sekolah dengan berjalan kaki berpuluh-puluh meter
bahkan mungkin hingga hitungan kilometer.

Tangis ketiganya sebagai ayah:
Taukah kalian bagaimana perasaannya manakala dia tak "sukses" secara ekonomi?
Bagaimana bisikan hatinya manakala keluarganya terperangkap dalam "ekonomi lemah"?
Bagaimana jiwanya manakala beragam pandangan mencemooh terlempar ke wajah-wajah yang paling dikasihinya?
Taukah kalian bahwa dalam sujudnya dia "menangis"?
Mengadu kepada Ilahi Robbi agar diberikan "kemudahan" dan "kekuatan"
Untuk tetap tegar menyekolahkan anak-anaknya
Meski "darah" memeluh di setiap ikhtiarnya mencari nafkah keluarga
Meski harus tertatih-tatih bahkan "merayap-rayap" dalam "onak duri" rezeki
Meski tak membedakan siang dan malam dalam "mengorek" sesuap nasi bagi keluarga
Meski caci-maki dari orang yang lebih berpunya "memecah" gendang telinga
Meski harus "melupakan" lapar demi "menyuapi" keluarga dengan nafkah yang sangat jauh dari cukup

Tangisan keempatnya sebagai ayah:
Taukah kalian betapa rusuh dan gundah gulana hatinya
Menyaksikan anak tercinta terbaring tak berdaya di rumah sakit
Meski gundah, dia selalu terlihat kuat dan berwibawa membujuk kita agar mau menuruti nasihat dokter.
Taukah kalian bahwa air mata "membanjiri" hatinya
Terbalur kecemasan dan keresahan akan beratnya sakit yang diderita anak tercinta
akan kemungkinan "tiada biaya" untuk berobat
Namun kita tak pernah lihat air mata itu

Tangisan kelimanya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat saat kebandelan remaja kita telah melampaui batas?
Dari satu kebandelan berlanjut ke berbagai kebandelan lainnya
Membuat satu masalah dan merumitkan berbagai masalah
Kita pasti takkan lupa saat amarahnya membahana
Saat tak tau lagi bagaimana bertoleransi dengan kesalahan-kesalahan kita
Taukah kalian kala amarah itu mereda, hatinya beruraikan tangis
Tangis karena merasa "gagal" sebagai ayah
Tangis karena merasa " tak berhasil" mendidik kita sebagaimana mestinya
Namun juga tangis karena rasa bersalah "meluapkan" amarah kepada kita

Tangisan keenamnya sebagai ayah:
Apa yang paling kalian ingat di saat kita diwisuda sebagai sarjana?
Senyum bahagia dan ucapan syukur yang terurai dari bibir ayah dan bunda tercinta
Tapi taukah kalian saat malam menapak dinihari
Ayah kita "tenggelam" dalam sujud yang panjang,
berurai air mata dalam do'a syukur karena bisa menghantarkan kita ke jenjang pendidikan tinggi
yang mungkin tak pernah dia kecap seumur hidupnya

Tangis ketujuhnya sebagai ayah:
Bagaimana raut wajahnya saat kita kabarkan bahwa kita diterima kerja sebagai pegawai negeri ataupun sebagai karyawan perusahaan atau saat usaha bisnis kita berhasil?
Bagaimana raut wajahnya saat kita berikan beberapa lembar uang gaji pertama kita?
Selaksa senyum bahagia terukir dengan sempurnanya di wajah tuanya yang penuh keriput
Namun sesungguhnya hatinya "berisi" air mata bahagia
Menyaksikan keberhasilan kita di dunia kerja

Tangisan terakhirnya sebagai ayah:
Apa yang dia rasa saat puteranya mengatakan akan meminang seorang gadis?
Apa yang mengusik hatinya saat seorang pemuda datang hendak meminang puterinya?
Hatinya bahagia sekaligus gundah gulana
Bahagia mendengar anak-anak tercinta akan menempuh hidup yang baru
Bahagia mengetahui anak-anak tercinta telah dewasa dalam pilihannya dan siap melangkah ke tanggung jawab yang baru.
Namun hatinya gundah karena tau akan "ditinggalkan" oleh buah hati tercinta
Saat akad pernikahan tergulir dari bibir putera tercinta
Kala akad pernikahan terurai dari bibirnya atas nama puteri tercinta
Sesungguhnya hatinya "banjir air mata"
Tangis yang menggambarkan kebahagiaannya karena putera tercinta telah mengemban tanggung jawab yang sama seperti peran dia
Tangis yang mengukir kebahagiaannya karena puteri tercinta telah berada di "tangan yang tepat"
Namun juga tangis yang menyiratkan lara hatinya karena "belum siap" terpisah dari ananda tercinta
yang telah mengisi hari-harinya sebagai ayah selama bertahun-tahun

Duhai Ayah...
Meskipun kau secara fisik tidak melahirkan kami
Namun secara psikologis kau "lahir"kan kami hingga menjadi anak-anak yang berguna
Bagi diri sendiri, bagi keluarga, dan juga bagi bangsa-negara

Duhai Ayah...
Meski dunia hanya mengenal HARI IBU
Izinkan daku mengucapkan kepadamu
"SELAMAT HARI AYAH"
Beribu terima kasihku untukmu
Tanpa kasihmu yang tulus..
Tanpa cintamu yang mendalam..
Tanpa "tangis-tangis"mu
Mungkin takkan kujejaki tanah Groningen ini

Duhai Ayah..
Selaksa cinta kuhaturkan kepadamu atas semua episode yang telah kita lewati.


Groningen, 22 Desember 2009
Persembahan untuk Bapak tercinta di "Hari Ibu"
(terinspirasi dari sebuah posting di facebook yang tidak pernah ketemu lagi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar